Syawalan Sebagai Kesalehan Kultural dan Penjagaan Spirit Ramadlan
Syawalan Sebagai Kesalehan Kultural dan Penjagaan Spirit Ramadlan
Oleh : Dr. Amam Fakhrur
Hari- hari ini kita tengah berada di bulan Syawal 1440 H, salah satu bulan di kalender Islam.
Kata syawalan berasal dari bahasa Arab, "Syawal" ditambah akhiran "an", menjadi Syawalan.
Syawalan kemudian merujuk kepada sejumlah aktifitas tradisi dan kebudayaan masyarakat Indonesia, berupa bermaaf-maafan di hari lebaran, setelah Idul Fitri.
Syawalanpun kemudian lekat dengan istilah halal bi halal yang menurut Qurasy Syihab, halal bi halal merupakan kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata bahasa Arab halal yang berarti baik atau diperbolehkan yang diapit dengan kata penghubung ba.
Terkesan antik dan unik, meski Syawalan dan halal bi halal berasal dari bahasa Arab, ia tidak terdapat di negeri Arab manapun, karena memang bukan tradisi dan kebudayaan mereka. Tak dapat dipungkiri Syawalan menjadi tradisi dan kebudayaan khas Indonesia. Menurut Umar Kayam, tradisi ini adalah pada asalnya merupakan kreatifitas akulturasi budaya Jawa dan Islam. Menurut beliau tradisi ini adalah berkat jasa para ulama Jawa dahulu yang dengan segala kearifan lokalnya (local wisdom) mampu memadukan budaya Jawa dan Islam dengan menciptakan akulturasi-akulturasi, setelah pada awalnya saat Islam hadir dan hendak bersinggungan dengan budaya Jawa, timbul ketegangan-ketegangan yang pada gilirannya menimbulkan disharmoni budaya. Dengan akulturasi-akulturasi tsb. memungkinkan agama baru itu diterima oleh masyarakat Jawa. Dalam perkembangannya tradisi dan kebudayaan ini dapat berlangsung lama dan turun temurun dan kemudian menjadi khas Indonesia, hal tsb terjadi karena adanya kesamaan historis. Islam sangat menekankan adanya sumber daya manusia yang pemaaf, sebagaimana digambarkan dalam firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran, ayat 133-134 yang mengkategorikan orang-orang yang mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang adalah orang-orang yang bertaqwa, selain orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun di waktu sempit.
Demikian juga masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi memberi dan memohon maaf atas segala kelepatan (kesalahan). Pembaca dapat menyaksikan corak dan ragam Syawalan di tengah-tengah masyarakat, dari mulai bermaafan dengan saling berkunjung sampai bermaafan melalui media perkumpulan dengan segala karakteristiknya. Di kalangan keluarga biologis saya, yang cenderung puritan, Syawalan dibungkus dengan media cukup simpel, sekedar berkumpul, bermaafan dan ditumpangkan agenda arisan keluarga. Berbeda dengan tradisi dan budaya keluarga isteri saya, Syawalan juga dikemas dengan berziarah dan berdo'a, pembacaan surat Yaasin dan tahlil di komplek makam keluarga. Nampaknya Syawalan tidak hanya dimaknai bermaafan dan silaturrahmi dengan keluarga yang masih hidup tetapi juga bersilaturrahmi dengan leluhur yang sudah meninggal dunia. Dan tentu akan banyak pembaca jumpai bentuk Syawalan yang lain, bisa dikemas dengan dasar latar belakang etnis tertentu di perantauan, kesamaan profesi, kangen-kangenan mitra lama dan lain sebagainya yang pesertanya tidak terbatas dari kalangan muslim. Syawalan sebagai akulturasi budaya Indonesia dan Islam, penuh dengan kesalehan (kebaikan). Saya percaya kegiatan Syawalan, adalah bagian dari terapi psikologis yang bermanfaat dalam pergaulan sosial.
Betapa tidak dengan silaturrahmi, bermaafan yang didalamnya adalah bagian dari adanya pengakuan kesalahan, dapat menstimulasi manusia untuk bertindak jujur (honest), sikap individualistis di tengah masyarakat industri yang pola hubungannya mengedepankan pola hubungan pekerjaan dan kepentingan (vested interest), pengagungan strata sosial, sikap egoistis dan lain sebagainya, dapat dikontrol dan dicairkan. Media Syawalan menjadi lebih bermakna kehadirannya bila dihubungkan dengan kondisi obyektif masyarakat era yang penuh dengan konflik, pertentangan yang memang diperlukan obat dan terapi kemanusiaan yang mujarab. Adapun sebagian masyarakat yang Syawalan, berhalal bi halal di luar konteks nilai luhur sebagaimana dikemukakan di atas, misalnya dengan media hiburan yang kelewat batas, pergaulan muda mudi yang tak beretika, sesungguhnya ia bukan tradisi dan budaya asli Syawalan yang sesungguhnya, ia merupakan "penyelewengan" budaya. Saya kira Syawalan yang sesungguhnya sangat terkait dengan upaya menghidupkan spirit Ramadlan. Di bulan Ramadlan orang-orang yang beriman menahan makan dan minum sejak fajar sampai tenggelam matahari, sesuatu syariat yang tidak ringan untuk dilaksanakan, kecuali oleh orang-orang yang benar-benar beriman.
Di bulan Ramadlan orang-orang beriman disiplin "bercengkerama" dengan Tuhannya, juga berlatih berjiwa sosial melalui berderma. Sehingga di bulan Syawal (peningkatan) dan di bulan-bulan berikutnya, spirit keimanan dan penghambaan kepada-Nya harus tetap dijaga, dilestarikan dan ditingkatkan. Umat Islam disyari'atkan untuk puasa enam hari di bulan Syawal adalah terkandung pesan agar umat Islam tetap berada dalam nuansa dan spirit seperti di saat bulan Ramadlan. Sehingga tradisi dan budaya Syawalan yang penuh kesalehan dengan tetap berupaya menjaga spirit Ramadlan dapat berjalan beriring untuk kehidupan yang lebih bermakna. Penjagaan spirit Ramadlan adalah bagian dari upaya mempertahankan dan meningkatkan predikat kefitrahan (kesucian), sementara Syawalan yang positif adalah bagian dari simbol dan wujud upaya dalam mempertahankan dan meningkatkan predikat yang mulia tersebut dari aspek pergaulan sosial. Beraktifitas Syawalan sebagai tradisi dan budaya yang berakar dari nilai luhur budaya bangsa dan wahyu dengan tetap berikhtiar menjaga spirit Ramadlan dapat mendekatkan pencapaian peradaban Indonesia yang sejahtera, tertib dan tidak berpaling dari ketuhanan ( ilahiah ). Seperti apakah aktifitas Syawalan kita...?
Jawabnya ada pada diri kita masing-masing. Wallahu a'lam. Diambil dari Group WA, terima Kasih Khusus Les Privat Wates Bimbel Kulonprogo dengan Mbak Aprilia WA 08113653956
0 comments